Demokrasi Pancasila diwarnai nilai-nilai islam.

ADMIN

1/4/20255 min read

white concrete building
white concrete building

Demokrasi Pancasila Diwarnai Nilai Nilai Islam Dengan Filosofi Thawaf Dalam Perisai Pancasila Lambang Negara Pada Sila Kesatu Cahaya Berbentuk Bintang Bersudut Lima ​

Tema ini diangkat merujuk pada Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan, yang terkait dengan desain Lambang Negara Indonesia (Garuda Pancasila). Berikut adalah bunyi lengkap dari Pasal 48:

Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 berbunyi :

(1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.

(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:

a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;

b. dasar kemanusiaan yang adil dan beradab dilambangkan dengan rantai yang terdiri atas dua bagian yang saling mengikat di bagian kiri perisai;

c. dasar persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin yang terdapat di bagian kanan perisai;

d. dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian bawah perisai;

e. dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan padi dan kapas yang terdapat di bagian bawah kanan perisai.

Pasal ini menjelaskan desain dan arti lambang negara Indonesia, yang mencakup simbol-simbol yang mewakili kelima sila dalam Pancasila.

Dalam membaca Pasal 48 ayat 2 huruf b dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Lambang Negara Indonesia dengan filosofi Thawaf atau gilir balik, kita dapat menafsirkan desain Lambang Negara Indonesia, khususnya perisai yang menggambarkan lima sila Pancasila, sebagai suatu siklus atau perjalanan yang berputar, seperti yang digambarkan dalam praktik Thawaf di sekitar Ka'bah dalam ibadah haji.l

Filosofi Thawaf dalam Konteks Pasal 48 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009

1. Thawaf sebagai Gerakan Berputar

Dalam Thawaf, jamaah berputar mengelilingi Ka'bah, mengulang gerakan yang memiliki makna kedekatan dengan Allah. Dalam konteks Pasal 48, filosofi ini dapat menggambarkan bagaimana kelima sila Pancasila (yang dilambangkan dalam perisai) saling berinteraksi dan berhubungan, membentuk suatu kesatuan yang utuh. Seperti gerakan Thawaf, tidak ada awal atau akhir, tetapi proses yang berkelanjutan, mencerminkan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Keterkaitan dan Keselarasan

Dalam pasal ini, masing-masing sila dilambangkan dengan simbol yang berbeda, namun memiliki satu kesatuan. Filosofi Thawaf mengajarkan bahwa setiap elemen—baik itu dalam konteks sila atau aspek kehidupan—meskipun tampak berbeda, saling terhubung dan harus bergerak dalam keselarasan.

Ketuhanan Yang Maha Esa (Nur Cahaya Bintang) adalah pusat dari perisai, menggambarkan bahwa segala hal berputar di sekitar nilai ketuhanan yang merupakan landasan utama bagi negara.

Kemanusiaan yang adil dan beradab (Rantai) dan Persatuan Indonesia (Pohon Beringin) memberikan keseimbangan dan memperkuat hubungan antar elemen negara, sebagaimana Thawaf yang mengedepankan kesatuan dalam keberagaman

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (Kepala Banteng) dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Padi dan Kapas) menggambarkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi tujuan bersama.

3. Filosofi “Gilir Balik” dalam Kehidupan Sosial dan Negara

Filosofi gilir balik yang ada dalam Thawaf juga mengandung makna bahwa setiap perubahan atau perjalanan sosial harus selalu kembali kepada nilai-nilai dasar, yang dalam hal ini adalah Pancasila. Sebagaimana dalam Thawaf, jamaah yang mengelilingi Ka'bah senantiasa kembali pada titik pusat, demikian pula negara yang selalu kembali pada nilai-nilai Pancasila, dengan segala perubahan dan dinamika yang ada, agar tidak keluar dari garis pusat yang telah ditetapkan.

4. Keberlanjutan Nilai Pancasila

Seperti gerakan Thawaf yang dilakukan berulang kali, pasal ini menekankan bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus dijaga dan diteruskan melalui simbol-simbol dalam Lambang Negara. Perputaran simbol-simbol Pancasila ini menunjukkan bahwa Pancasila bukanlah sesuatu yang statis, tetapi harus dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara secara dinamis.

Dengan demikian, dalam membaca Pasal 48 dengan filosofi Thawaf atau gilir balik, kita dapat melihat bahwa Lambang Negara Indonesia bukan hanya sekedar simbol, tetapi menggambarkan suatu proses berkelanjutan, keselarasan, dan keterhubungan antara nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana halnya dalam Thawaf yang merupakan simbol dari kedekatan, perputaran, dan kepulangan kepada nilai-nilai yang lebih tinggi.

Demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, yang secara filosofis menggambarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, musyawarah, dan keadilan sosial. Ketika dikaitkan dengan Islam dan filosofi thawaf, konsep ini dapat diperkaya dengan pendekatan spiritual dan etika Islam yang menekankan keteraturan, kepatuhan kepada Allah, serta persatuan umat manusia. Berikut adalah penjelasan detailnya:

1. Filosofi Thawaf

Thawaf adalah ritual mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dalam ibadah haji atau umrah. Secara filosofis, thawaf memiliki makna:

Kepatuhan kepada Allah: Semua aktivitas manusia berpusat pada Allah sebagai poros utama kehidupan.

Kesetaraan: Semua orang yang melakukan thawaf tidak memandang ras, suku, atau status sosial, melainkan setara di hadapan Allah.

Keteraturan dan Harmoni: Thawaf menggambarkan pergerakan yang harmonis dalam tata kosmik, menunjukkan keteraturan yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya.

Kesadaran Kolektif: Thawaf mencerminkan kebersamaan umat manusia dalam mengarahkan tujuan hidup kepada Allah.

2. Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Islam

Demokrasi Pancasila sebagai sistem politik Indonesia berlandaskan pada Pancasila yang menekankan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Ketika diwarnai oleh nilai-nilai Islam, prinsip-prinsip demokrasi Pancasila mendapatkan dimensi moral dan spiritual yang lebih dalam:

a. Ketuhanan yang Maha Esa (Sila Pertama)

Dalam thawaf, Allah adalah pusat kehidupan, yang selaras dengan sila pertama. Dalam demokrasi Pancasila, semua keputusan harus berlandaskan moral Ketuhanan, menjaga keseimbangan duniawi dan ukhrawi.

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila Kedua)

Filosofi thawaf menekankan kesetaraan dan penghormatan terhadap semua manusia. Dalam demokrasi Pancasila, ini diterapkan dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial, tanpa diskriminasi.

c. Persatuan Indonesia (Sila Ketiga)

Thawaf menyimbolkan persatuan umat manusia dalam tujuan yang sama. Demokrasi Pancasila juga berupaya menyatukan keragaman budaya, agama, dan etnis di bawah prinsip persatuan bangsa.

d. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan (Sila Keempat)

Thawaf menunjukkan keteraturan dan musyawarah alam semesta, yang bisa diterapkan dalam demokrasi Pancasila melalui musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan.

Pemimpin dalam demokrasi Pancasila harus bertindak dengan hikmah dan kebijaksanaan, sebagaimana seorang Muslim yang memusatkan niat dan tindakannya kepada Allah.

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila Kelima)

Thawaf mengajarkan keadilan dan kesetaraan, yang tercermin dalam upaya mencapai keadilan sosial tanpa memandang golongan, sebagaimana diinginkan dalam demokrasi Pancasila.

3. Thawaf sebagai Metafora Demokrasi Pancasila

Poros Pusat (Allah dan Pancasila): Dalam thawaf, Allah adalah poros utama. Dalam demokrasi Pancasila, Pancasila adalah nilai dasar yang menjadi pusat dari seluruh kebijakan.

Kesetaraan Partisipasi: Seperti semua Muslim memiliki hak yang sama dalam thawaf, demokrasi Pancasila menjamin kesetaraan dalam partisipasi politik rakyat.

Keteraturan dalam Pluralisme: Thawaf menunjukkan harmoni dalam keragaman; ini serupa dengan demokrasi Pancasila yang menghormati pluralitas bangsa Indonesia.

4. Implementasi Nilai Thawaf dalam Demokrasi Pancasila

Musyawarah yang Berlandaskan Ketuhanan: Keputusan politik harus mengutamakan etika dan nilai moral yang sesuai dengan ajaran agama.

Pemimpin yang Adil dan Bijaksana: Pemimpin dalam demokrasi Pancasila diharapkan menjadi figur yang mencerminkan nilai-nilai keadilan sebagaimana kesetaraan dalam thawaf.

Pusatkan Kepentingan Umat: Seperti thawaf yang berpusat pada Allah, kebijakan negara harus berpusat pada kepentingan rakyat, tanpa terpengaruh oleh golongan tertentu.

Analisis klarifikasi hukum ketika kita mengaitkan Demokrasi Pancasila dengan filosofi thawaf memberikan dimensi spiritual yang mendalam dalam sistem politik Indonesia. Filosofi ini menekankan pentingnya keteraturan, kesetaraan, persatuan, dan ketuhanan sebagai inti dari demokrasi yang sehat dan berkeadilan. Dengan demikian, Demokrasi Pancasila dapat menjadi model demokrasi yang tidak hanya menghormati nilai-nilai kebangsaan tetapi juga mengintegrasikan prinsip moral Islam sebagai landasan etis, dijabarkan secara tegas di alinea ketiga Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi

Bunyi selengkapnya dari kalimat "Atas berkat Rahmat Allah dan didorong keinginan luhur" adalah bagian dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berikut ini adalah bunyi lengkapnya:

"Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Kalimat ini merupakan bagian dari Alinea I Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hasil dari keinginan luhur bangsa Indonesia untuk hidup bebas dan merdeka.

Frasa "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas..." berasal dari Pembukaan UUD 1945, yang menjadi landasan filosofis dan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat ini sarat makna, baik dari perspektif keagamaan, kebangsaan, maupun moral.

Muhammad Rafli Baehaki

02HKSE001

231090250183

Pendidikan kewarganegaraan